Sebenarnya
sudah lama sekali aku berniat di dalam hati, kalau aku adalah perempuan yang
harus memperjuangkan kaumku dan juga anak-anak (yang selalu aku sukai dan
tempatku belajar banyak hal). Tapi, keinginan yang teramat kuat untuk menulis
tentang hal ini baru meledak setelah aku
mampir di akun twitter seorang feminis, Hera Diani, yang menjalankan akun
@the_magdalene. Banyak tulisan yang dibagikan oleh @the_magdalene membuatku merasa
ada yang sudah spoke out my mind.
Salah
satu tulisan yang menggugahku adalah Menjadi Perempuan di Keluarga Batak yang
ditulis oleh Shely Napitupulu. Shely membagikan kisahnya sebagai perempuan
Batak yang Ayahnya tidak memiliki keturunan laki-laki dan pada akhirnya status
cucu panggoaran (nama cucu yang menjadi panggilan Kakek/Nenek) dicabut hanya
karena Bapauda (adik laki-laki Ayah)nyalah yang memiliki keturunan laki-laki.
Ya, inilah kami, perempuan dari budaya yang menjunjung tinggi patrinealism.
Setidaknya
aku bersyukur karena tidak harus mengalami apa yang terjadi pada Shely. Kakekku
memiliki dua orang anak laki-laki yang keduanya tidak memiliki keturunan
laki-laki. Dan itu bukan aib! Tidak ada rasa malu yang menghinggapi Ayahku
dengan memiliki putri-putrinya, dan seperti itu jugalah yang kulihat dengan
Bapatua (abang Ayah)ku.
Sering
sekali orang bertanya: “berapa orang anak laki-lakimu?” kepada Ayahku yang
selalu dijawabnya: “Aku orang tertampan di rumah”. Biasanya orang akan memberi
respon: “Ya, zaman sekarang anak laki-laki dan anak perempuan sama saja”, namun
itu hanya ucapan di mulut. Mereka mencibirkan bibi, aku melihatnya!
Ah,
namboru (panggilan hormat kepada ibu-ibu yang belum diketahui hubungan
kekeluargaannya) yang pencibir, tidak sadarkah kau bahwa kelima anak
laki-lakimu tidak ada yang seperti kelima putri Ayahku? Lihatlah, dengan status
‘pembawa marga’ yang mereka dapatkan karena mereka adalah anak laki-laki,
kalian malah membiarkan moralitas mereka rusak. Di lingkungan masyarakat kami,
yang seratus persennya berasal dari suku yang sama, banyak anak laki-laki yang
putus sekolah, sering membuat masalah di masyarakat, dan bahkan sering
menyusahkan kehidupan orangtua dan keluarga. Namun, tetap saja mereka lebih
dihargai, dipuji, dan diberi kelebihan hanya karena mereka terlahir sebagai
seorang laki-laki.
Bersukurnya
aku bahwa aku dilahirkan sebagai puteri kedua dari lima puteri Ayahku, yang
kutahu tidak pernah sedikit pun menganggap kami tidak berharga hanya karena
kami perempuan. Orangtua yang selalu menanamkan bahwa pendidikan tinggi adalah kodrat
setiap anak tanpa melihat gender, yang tidak membatasi puteri-puterinya untuk
bergaul dengan masyarakat dan berjuang meraih apa yang masyarakat lingkungan
kami pikir hanyalah untuk anak laki-laki.
Di
tengah-tengah kondisi lingkungan masyarakat kami yang tidak memperdulikan pendidikan,
orangtuaku selalu memasukkan kami di sekolah terbaik yang bisa kami dapatkan
serta memberikan pendidikan formal dan informal yang terbaik juga. Kami selalu
dicibir karena menghabiskan seharian waktu kami untuk berada di luar, “Tidak
baik untuk perempuan,” kata mereka. “Untuk apa les? Kan sudah cukup belajar di
sekolah. Anak perempuan yang urus rumah saja,” “percuma pintar kalau nanti
ujung-ujungnya kerja di dapur juga,” “orangtuamu berlebihan. Terlalu memanjakan
kalian,” Itulah sederetan kata-kata yang nyaris setiap hari kami dengar.
Tapi,
hasil memang tidak mengkhianati usaha. Setiap penerimaan raport, orangtua anak
laki-laki ‘itu’ dipanggil ke sekolah karena mereka tinggal kelas atau karena
mereka telah menimbulkan teralu banyak masalah di sekolah selama satu tahun
yang berujung pada kepindahan mereka ke sekolah lain, orangtuaku bahkan harus
berbagi tugas dan waktu atas panggilan sekolah, karena putri-putri mereka
meraih juara di sekolah masing-masing. Saat orangtua mengantar anak laki-laki
mereka ke sekolah agar tidak bolos, orangtuaku sibuk mengantar kami ke
tempat-tempat dimana kami mengikuti olimpiade atau perlombaan. Saat orangtua
anak laki-laki itu khawatir pada anaknya yang tak kunjung pulang di larut
malam, orangtua kami malah selalu sibuk mengingatkan agar kami tidak belajar
hingga larut malam. Setidaknya itulah hal yang membanggakan nama orangtua kami
di tengah-tengah masyarakat yang selalu menganggap kelahiran anak laki-laki
adalah anugerah terbesar dari Tuhan.
Satu
hal yang akan selalu kuingat dari Ayahku adalah kata-kata yang diucapkannya
kepada seorang teman mempermasalahkan Ayahku yang tidak memiliki keturunan
laki-laki:
“Satu
orang anak perempuanku sama berharganya dengan sepuluh orang anak laki-laki di
kampung ini.”
Dan
juga kata-kata ibu yang membuatku bersyukur terlahir menjadi seorang anak
perempuan adalah:
“Ah,
eda (panggilan kepada sesama perempuan yang telah menikah). Lima menantu
perempuan akan kalah dengan satu orang anak permpuan, saat kau tua nanti.”
Inilah
kisah kami, keluarga Batak tanpa keturunan laki-laki yang mecoba survive di
tengah-tengah budaya patrinealism.
Phoebe
J
Medan.
15.09.2018
Keren dek blogspotnya
BalasHapusThankyou bang. Jangan lupa mampir ditulisan-tulisan lainnya yaa
HapusSuper sekali..
BalasHapusAku terharu membacanya❤
Makasih kak Juli. Nggak nyangka kak Juli bakal komen. Hehe. Jangan lupa mampir di tulisan-tulisan lainnya yaa
Hapus