Surat Terbuka untuk ...

        Aku tahu, selalu ada bagian yang tidak masuk akal dalam perjalanan cinta. Tetapi lebih karena, aku tahu persis, separuh hatiku akan pergi. Persis seperti sebuah daun berbentuk hati, diiris paksa oleh belati tajam, dipotong dua. Aku sama sekali tidak bisa mencegahnya.

        Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin benar, ada seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu.




       Kau tahu, aku melalui minggu-minggu menyedihkan itu. Dan yang lebih membuat semuanya terasa menyedihkan, aku tidak pernah mengerti mengapa kau pergi.  Sesungguhnya aku tidak pernah yakin atas segalanya, aku tidak pernah baik-baik saja. Tiga bulan berlalu, hanya berkutat mengenangmu. Mendendang lagu-lagu patah-hati, membaca buku-buku patah-hati. Hidupku jalan di tempat.





       Aku sungguh tidak menduga, setelah tiga bulan berhasil pergi dari segala kesedihan itu. Susah-payah menyingkirkan kenangan lama yang selalu menelusuk di malam-malam senyap. Aku mendengar dia sudah berangkat kemarin, dengan penerbangan pagi. Apa aku harus senang? Sedih? Marah? Tidak peduli? Ya Tuhan, ini semua sungguh menyakitkan.

        Ketika hati itu terkoyak separuhnya tiga lalu, aku sudah bersumpah untuk menguburnya dalam-dalam. Berjanji berdamai meski tak akan pernah kuasa melupakan.

        Kau tahu, saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru. Aku mendongak keluar, menatap purnama. Berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Sudahlah. Buat apa diingat lagi. Biarlah. Aku tidak akan marah atas segala takdir ini.

        Kau tahu, di tengah semua kesedihan itu, setidaknya saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru.



       Cinta bukan sekadar soal menerima apa adanya. Cinta adalah harga diri. Cinta adalah rasionalitas sempurna. Jika kau memahami cinta adalah perasaan irrasional, sesuatu yang tidak masuk akal tidak butuh penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu akan kembali menganga. Kau dengan mudah membenarkan apapun yang terjadi di hati, tanpa tahu, tanpa memberikan kesempatan berpikir bahwa itu boleh jadi karena kau tidak mampu mengendalikan perasaan tersebut. Tidak lebih, tidak kurang.

        Bagiku, masa-lalu menyedihkan itu sudah tertinggal jauh di belakang bersama burung besi yang membawamu terbang. Masa-masa indahku mengenaimu sudah lenyap tak bersisa bersama pengumuman yang membanggakan itu. Semua keadaan dan kekalahan ini mengajariku tentang makna kata berdamai dengan masa lalu. Tidak mendendam apapun. Menerima apa-adanya.

        Kenangan indah bersamamu akan kembali memenuhi hari-hariku entah hingga kapan. Itu benar. Membuatku sesak. Tapi aku tidak akan membiarkan hidupku kembali dipenuhi harapan hidup bersamamu. Sudah cukup. Biarlah sakit hati ini menemani hari-hariku. Biarlah aku menelannya bulat-bulat sambil sempurna menumbuhkan hati yang baru, memperbaiki banyak hal, memperbaiki diri sendiri. Apa pepatah bilang? Ah iya, patah hati tapi tetap sombong, patah-hati tapi tetap keren.


Selamat menuntut ilmu di Kampus G

Komentar