Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
“Halo,
Sis?”
Seperti
biasa, aku berkomunikasi dengan salah satu dari empat sahabat yang kudapat di
SMA. Menanyakan kabar, kesehatan, kuliah, dan ‘kamu’.
Ya,
sebanyak apapun aku menutup mata dan telinga dan sekeras apapun aku melawannya,
kenyataan itu tetap berdiri di tempatnya. Kenyataan bahwa hingga saat ini aku
masih dengan tabah menahan perasaan ini padamu. Sudah lewat satu tahun satu
bulan empat belas hari dari hari itu, hari dimana semua tak lagi menjadi
rahasia. Harusnya pada hari itu aku melepas semuanya, tapi kenyataannya, ada
baagian dari hatiku yang terbawa di dalam kotak kecil yang kau genggam itu.
Kau
tak akan pernah peduli. Ya, kau tidak mau tau apa serpihan yang kau bawa serta.
Kau tak pernah mempertanyakan keberadaanku, apalagi keadaanku. Aku bukan
siapa-siapa untukmu.
Tapi,
aku selalu menyelipkan tanyaku tentangmu dalam canda tawa dengan sahabatku,
Sis. Tanya tentang kesehatanmu, tentang kuliahmu, keadaanmu.
Dirahasiakan rintik rindunya
kepada pohon mahoni itu
“Kamu
nggak nanyain tentang dia?”
Ah,
betapa aku tidak hanya ingin bertanya tentangmu, aku bahkan ingin sekedar
melihatmu dari kejauhan. Meski kenyataannya aku sama sekali tidak berani melakukannya.
Kau tau, aku bahkan terlalu kecut untuk datang (kembali) ke kota tempat kita
menghabiskan masa pelajar, karena aku tau kamu sedang di sana.
Aku
tau, kota itu –meski kecil- cukup luas untuk memberi ruang agar kita tidak
bertemu. Tapi tetap saja, seperti kepulanganmu akhir tahun lalu, aku khawatir.
Bukannya
tidak merindukanmu. Aku rindu. Sangat, bahkan. Tanyakan pada
sahabat-sahabatkuku seberapa rindunya aku. Tapi, aku sadar, ini jenis kerinduan
yang tak kan kusampaikan padamu, pada rintik hujan.
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
“Sis, lebih baik aku udahan, aja, kayaknya.”
Kubuka catatan yang kubagikan di facebook, coretan yang
kutulis di dinding blogspotku pada bulan November lalu, Surat Pengunduran Diri.
“Ada saat dimana perjuangan itu tak berbanding lurus
dengan hasil yang ingin dicapai,” seorang kakak kelas pernah berkata kepadaku.
Sama seperti apa yang kudapat tak sebanding dengan perjuanganku. Memang,
seorang pejuang harus berjuang hingga titik darah penghabisan. Tapi tidak
dengan masalah hati.
Mungkin aku memang harus berhenti, harus menyimpan sendu
ini di relung hati. Menutup layar yang terkembang yang dengan indahnya terkibar
dibalut angin, karena badai yang akan datang sanggup merobek sang layar.
Sudah saatnya aku bangun dari mimpi. Tidak peduli
seberapa kejam dan mengerikannya itu, sekarang aku harus menghadapi kenyataan.
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
“Kak,
kenapa kakak selalu masuk ke ruangan itu sih?”
“Rajin banget sih datang ke sekolahan lu. Lu kan udah
alumni.”
Ada. Ada satu langkah, dua langkah, dan beribu-ribu
langkah yang harus kupungut dari antara basahnya rumput, dari antara
kerikil-kerikil yang disatukan aspal, dari sari-sari debu yang terhampar,
menghampar.
Ada. Ada satu kenangan, dua memori, dan beribu-ribu
ingatan yang harus kuhapus, dari antara ruang-ruang kelas, di selusur
tembok-tembok yang tinggi, di lorong-lorong yang panjang, dari sela meja-meja
dan bangku-bangku.
Bukan. Bukan aku ingin mengatakan bahwa itu adalah
kesalahan. Kenangan tetaplah bagian dari ingatan, bagian dari hidup, yang
tanpanya aku akan terus jatuh dalam kesalahan. Tak ada kenangan yang salah,
memori yang buruk. Yang ada adalah aku yang salah. Salah karena membiarkan aku
terbuai, menciptakan memori yang seharusnya tak ada.
Aku hanya ingin menyentuh, mengambil kembali sisa-sisa
yang ada. Eksodus. Tak ingin serpihan-serpihan itu masih menggantung di
langit-langit ruang kelas, terhampar di lantai ubin, menghiasi dinding-dinding
nan tinggi itu. Aku hanya ingin menghapus semuanya dengan hujan dari awan, awan
yang pada akhirnya menghilang, karena hujan.
Tak ada yang lebih
arif
dari hujan bulan Juni
“Kak, move on, dong. Tuh ada Koko D.”
Sudah sering aku melakukan sugesti terhadap diriku
sendiri, terhadap hatiku. Namun, pada akhirnya aku kembali ke bait pertama,
seperti yang dikatakan dalam lirik lagu “Bait Pertama”, Sheila on 7. Entah sudah
berapa orang yang menjadi korban sugestiku ini.
Dimulai dari SMP, dia, si adik kelas. Bahkan yang
terheboh adalah Vik, dimana hampir satu sekolahan tau bahwa aku menyukainya.
Tapi, tahukah kau bahwa ini semua kulakukan untuk menyugesti diriku sendiri.
Mencoba meyakinkan diriku bahwa rasa di hatiku tak lagi untukmu, tapi untuk si
A atau si B.
Namun, pada akhirnya aku menyerah, berhenti membohongi
diriku dan orang lain. Kubiarkan saja luka itu, terbuka, menganga, tersapa
angin, disegarkan udara. Biarlah luka itu sembuh dengan sendirinya. Entah itu
membutuhkan waktu berapa lama, aku tak tahu. Bukannya aku tak peduli atau
merasa kuat menahan kepedihan yan menggigit. Aku pun mengeluarkan air mata
dalam menjalani proses ini. Tak jarang, malah. Tapi tak ada obat yang dapat
menyembuhkan luka ini.
Kini, yang dapat kulakukan hanyalah berlutut, melipat
kedua tangan, menautkan jemari dan menutup mata. Ada banyak keluhan yang
kusampaikan kepada sang Tabib dari segala tabib. Tentang sakit di hatiku yang
terkadang menyeruak dikala aku mengingatmu, tentang mataku yang selalu perih
melihat apapun yang berkenaan tentangmu, tentang malam-malamku yang tak dapat
kunikmati dengan tidur karena sibuk mengusir bayang-bayangmu dari pelupuk mata.
Ada banyak pintaku pada Sang Khalik. Kerelaan, untuk
benar-benar melepasmu tanpa ada sisa-sisa serpihan kerinduan sedikitpun, tanpa
air mata yang membayang d pelupuk. Kedamaian, untuk aku dapat teerlelap tapa
bayang-bayangmu, taap mimpi-mimpi tentangmu. Memohonkan agar Yang Maha Pengasih memberikan Sepotong Hati yang
Baru.
Dibisikkanya yang tak terucapkan
di serap akar pohon itu
Ingatkah
kau?
Cinta, aku mencintai dan menyayangimu, sekarang.
Sekarang. Aku tak tahu sampai kapan akan mencintai dan menyayangimu. Mungkin
sampai besok, lusa, tahun depan, atau bahkan selamanya, aku tak tahu. Yang aku
tahu, aku mencintaimu, meyayangimu, sekarang. Sekarang
Komentar
Posting Komentar