Hai,
best.
Could I call you ‘best’? Atau
mungkin kau sudah muak kepadaku?
Waktu
sudah lama berlalu. Namun tak ada yang
berubah di antara kita. Masih sama seperti dulu, seperti beberapa bulan yang
lalu. Kita tetap seperti sebagaimana kau mengatakan bahwa kau senang pernah
mengenalku.
Aku
tak ingin menyakiti hatimu, waktu itu. Aku bukan membencimu –sama sekali bukan!
Itu … . Itu karena aku tak tahu aku harus bersikap bagaimana menghadapi masalah
yang ada di depan mataku. Kau tau, sahabatku sedang sakit. Tak hanya jasmaninya
saja, tetapi batinnya juga. Dan aku menganggap –dan memang pada kenyataannya-
sakit yang dideritanya disebabkan olehmu.
Bukannya
ingin membahas hal yang telah lalu. Kau ingat, kau sama sekali tak ingin
mendengar pernyataan yang telah disimpan sahabatku selama tiga tahun (dua belas
tahun), yang selama ini hanya disimpannya dalam hati. Bahkan ketua kelas
sahabatku saja tak berbuat demikian padaku. Kau tahu, kekecewaan yang kau torehkan di
hatinya lebih dari apa yang kau tahu. Lebih dari apa yang kuceritakan padamu.
Best.
Could I call you ‘best’?
Malam
ini aku tak dapat tidur. Entah mengapa kepalaku dipenuhi dengan dirimu. Segala
cerita-cerita yang telah kita bagikan bersama, waktu-waktu yang kita habiskan
di Jumat sore bersama sekretaris, tawa-tawa yang kita lepaskan tanpa beban
maupun kemunafikan, motivasi-motivasi yang selalu kau berikan, bahkan
larangan-larangan yang kau berikan untuk menjaga diriku.
Aku
merindukanmu. Sungguh.
Maafkan
aku dan semua perkataan yang kuucapkan malam itu. Aku … . Aku tidak bermaksud.
Itu hanyalah emosi sesaat yang timbul akibat kepanikan.
Maafkan
aku dan semua doa-doaku yang sudah menyakiti hatimu. Aku tidak memanjatkannya
dengan kesungguhan hati. Kau tahu, doa yang buruk tidak pernah dikabulkan oleh
Tuhan.
Aku
merindukanmu. Sungguh.
Rindu
mendengar suaramu, motivasimu, nasihatmu, ceritamu, dan semua hal yang dulu
selalu kita lakukan bersama. Maukah kau memanggilku dengan kata ‘best’ lagi?
Atau aku sudah terlalu menyebalkan untukmu?
Bisakah
kau berikan aku sedikit dari maafmu kepada mantan sahabatmu ini?
Aku
tidak mengharapkan kita dapat kembali seperti dulu lagi, dengan canda tawa,
tangisan, curhatan, obrolan, dan waktu-waktu yang kita gunakan bersama. Aku
tidak berani memiliki keinginan agar kau menyambutku dengan senyuman lebarmu
dan tangan yang terbuka lebar dengan pelukan yang menanti. Aku hanya
menginginkan agar kau membuka pintu maafmu untukku. Tak usah dengan kata-kata
yang menghibur, atau tawa yang dipaksakan, jangan dengan basa-basi yang hanya
mengembangkan kebohongan. Aku hanya menginginkan satu hal darimu.
Tolong, balas pesanku di BBMmu.
Aku mencintaimu.
Aku mencintaimu.
Komentar
Posting Komentar