A few years ago …
“Hei,
mau masuk kemana ini? Ikut dengan kakaknya?”
Pertanyaan dari orang-orang di
sekitarku. Entah itu dari guru, dari teman-teman yang bersama-sama telah
menyelesaikan ‘permainan’ bersamaku, dari para tetangga yang tertarik dengan kehidupanku,
juga dari saudara-saudaraku. Saat itu aku masih belum tau akan kemana, tapi
yang Papa katakan padaku, aku harus melanjut di sebuah sekolah negeri. Papa,
yang memang sangat memperhatikan kehidupan pendidikan kami dan mempersiapkan
semuanya bagi putri-putrinya, mencari tahu, sekolah negeri yang mana yang
menjadi terbaik pada masa itu, and he got it. Aku, putri keduanya menempuh
pendidikan lanjutan pertama di sekolah yang berbeda dengan kakakku. Tidak tahu
mengapa, yang jelas ini adalah sekolah negeri yang terbaik saat aku
memasukinya. I got it.
Three years later …
“Habis
ini mau lanjut dimana? Ikut kakaknya?”
Seperti biasa, setelah
menyelesaikan satu sesi kehidupan lagi, aku harus menentukan langkah baru. Oh,
sorry. Bukan ‘aku’, tapi kami. Sempat terbesit dalam hati kalau aku ingin
sekolah di SMA-SMA plus yang ada di provinsi ini. Mengenakan seragam yang
tampak gagah, dan mendapat pendidikan yang sangat baik. Tapi, bisakah aku?
Semuanya hanya kutelan dalam tubuh yang ringkih dan keadaan yang tidak
mendukung. Dua orang teman dekatku di terima di salah satu dari SMA Plus itu,
dua orang yang bermain, belajar, berjuang, dan bermimpi bersama denganku.
Namun, aku tidak kecewa. Mungkin itu bukan jalan yang dapat kulalui menuju
‘Roma’ku. Setidaknya aku harus mencoba untuk diterima di sekolah negeri terbaik
di kotaku. Kalau Dia mengijinkanku, aku pasti masuk ke sana. Dan Puji Tuhan,
aku bisa mengalahkan ribuan orang lawan yang dating dari berbagai kota –bahkan
dari provinsi lain- meraih peringkat kedelapan belas. I am speechless. Aku
berdoa agar diberikan sendok, dan Tuhan memberiku sendok perak. Meski aku
bersedih karena sahabatku tidak dapat meraih jalan yang sama denganku, namun
aku harus terus melangkah. Berjuang.
One year later …
“Kamu
IPA atau IPS? Kamu jangan masuk IPS, ya. IPS nggak bagus. Kamu masuk IPS aja,
soalnya nilai Bahasa kamu dan nilai Ilmu Sosial lebih tinggi. Be, kita
sama-sama masuk IPA, ya?”
Lembaran baru dari buku hidup dan
kehidupanku dibuka lagi. Dan bukan hanya aku, tapi setiap siswa yang harus
memilih jurusan di pendidikan lanjutan atas mereka. Aku bukannya tidak menyukai
mata pelajaran Ilmu Alam. Tapi itu terlalu cepat membuatku bosan, tidak
menantang adrenalinku, dan membuatku lelah membungkuk menghadap buku tulis. Oh,
come on. Bukannya mata pelajaran lain tidak seperti itu. Tapi, kau pasti pernah
merasakan dimana kamu memiliki bakat tapi tak mempunyai minat sama sekali. Dan
dengan kuatnya, aku ingin menenggelamkan bakat itu, agar aku bisa mendapatkan
apa yang kuminati. Aku sangat suka ilmu social –kecuali mata pelajaran ilmu
bumi- karena mereka menuntutku untuk banyak mengetahui hal-hal baru, membantuku
untuk melakukan analisis, membukakan jendela dunia padaku, membuatku mahir
dalam berkomunikasi, dan menjadikanku diri sendiri.
Dan dalam
lembaran ini, intervensi dan kontroversi mulai muncul di antara kerikil jalanan
yang sedang kulalui. Aku mencoba menyamakan hasil yang kudapatkan dari minat
dan keinginanku dengan hasil tes yang kudapat –tes IQ dan EQ yang diadakan oleh
kerjasama asosiasi psikolog dan sekolahku, namun hasil yang kudapatkan aku
seimbang. Aku dapat memilih ke IPA maupun IPS. Tentu saja aku memilih apa yang
kusukai. Namun apa yang aku sukai itu belum tentu menjadi apa yang diinginkan
oleh orang lain, orang-orang yang peduli dan ‘peduli’ dengan kehidupanku.
Banyak yang menyalahkan aku dengan pilihanku, juga yang menyatakan bahwa diriku
hanya mengikuti keinginanku sebagai seorang muda yang mencari jati diri. Ada
juga yang kesal padaku yang tidak menuruti saran dan perkataannya yang baik
–dan memang itu saran yang baik, tapi bukan yang terbaik bagiku. Beruntung aku
punya orang tua yang selalu mendukung apa yang menjadi pilihanku sendiri,
dengan syarat aku bisa mempertanggungjawabkannya.
Two years later …
Di masa-masa terakhir aku
menempuh pendidikan SMAku, aku dihadapankan dengan pilihan akan menjadi apa
nantinya. Di sesi ini, intervensi yang kuterima jauh lebih besar dari yang
sebelumnya. Harapan-harapan yang digantungkan padaku, tanggung jawab untuk
dapat menjadi sama dengan yang lain, dan juga rancangan-rancangan masa depan
yang diatur untukku. Dan jiwa mudaku memberontak dengan semua yang terjadi,
semua perkataan, semua saran. Sekali lagi, aku dengan kuat membunuh bakat yang
ada untuk meraih apa yang kuminati. Namun aku membuat kesalahan besar di sini,
karena aku memilih tanpa bertanya pada Bapaku di Sorga. Semuanya menjadi hancur
berantakan. Apa yang aku minati tak dapat kuraih dan bakatku menjadi terpendam
di dasar yang terlalu dalam untuk diselami kembali. Pintu mana yang akan
menjadi gerbang dari jalan yang akan kulanjutkan ke Roma.
Jalan yang tak pernah kuangankan,
yang sedikit waktu pun tak pernah terlintas di kepalaku maupun blue print masa
depanku, itu lah yang harus kuambil. Jalan ini tak seindah dari jalan yang sudah
lalu, sama sekali tak sama. Tak ada bunga-bunga yang indah yang memekar, juga
wangi-wangi semerbak yang menyapa indera pembauku. Tak kutemui sirkuit yang
mendebarkan, pun peluit dan bunyi bel.
Semuanya datar, tak satupun yang menarik. Tidak dengan bunga-bunga yang
berwarna kelam, sekelam dinding bangunan itu, bukan juga dengan udara yang tak
berisi bau apapun.
Now …
Aku tahu, harusnya aku menuliskan
cerita ini satu tahun berikutnya, tapi aku sudah tak tahan lagi. Sejujurnya,
aku hanya menjalani ini sebagai sebuah kewajiban yang memberatkan. Tanpa
adrenalin, tanpa tepukan bahu, dan tanpa tangan yang menggenggam satu sama
lain. Aku tidak tahu mengapa semua ini terjadi di waktu yang belum seharusnya.
Ini masih terlalu dini, kalau boleh aku berpendapat. Namun aku tahu, mereka
hanya ingin aku mendapatkan yang terbaik.
Sampel-sampel blue print
rancangan langkah hidup selanjutnya sudah dibentangkan di hadapanku.
Jalan-jalan dengan berbagai esensinya sudah dipresentasikan bagiku, dan
pilihan-pilihan yang malah semakin membuatku bingung. Aku bukannya bingung
dengan apa yang kuinginkan maupun kemampuanku, aku hanya sedang memikirkan cara
untuk tidak membuat seorang kecewa dan yang lain menganggapku tidak
menghargainya.
Mungkin apa dikatakan Bapak ada
baiknya untuk dipertimbangkan. Si A mendapatkan undang-undang, pun si B
mengarungi dunia konstitusi. Dan aku? Aku mendapat rekal.
Rekal.
Komentar
Posting Komentar