Bab I
Eureka
Suasana
sangat sibuk walau waktu masih pagi, tepatnya masih jam delapan. Tapi lihat, di
lobi hotel bintang lima di kota Bandung itu terlihat banner-banner memeriahkan
pandangan mata, orang-orang yang tampaknya belum berusia paruh baya lalu lalang
dengan kemeja, jas, ataupun almamater berbagai warna, juga sebuah banner super
besar menampilkan foto seorang pria beruban dengan tulisan Prof. Anggusti S.H.,
Phd. Ya, ini adalah kuliah umum yang diberikan oleh satu-satunya mediator
internasional yang terjun di bidang perminyakan dan pertambangan, dan anak-anak
muda yang mondar-mandir di lantai dasar adalah mereka yang juga ingin terjun
atau memang sudah terjun di bidang yang sama, atau sedikit sama. Mahasiswa
jurusan Pertambangan dan Perminyakan, mahasiswa fakultas hukum, mahasiswa yang
kuliah di bidang hukum internasional, dan mahasiswa yang ingin tahu tentang itu
semua.
Kuota
peserta hanya lima ratus orang. Itulah informasi yang diperoleh Alona Shavara satu bulan yang lalu. Teman sepelayanannya, Alex Christio yang kini menggantikan
kedudukan pamannya di perusahaan milik keluarga, pemuda tampan itulah yang
memberi informasi itu.
“Aku
punya dua tiket nih. Aku harus mewakili perusahaan. Soalnya ada satu case company
yang lagi dipegang sama Anggusti di perusahaan. Biasa etika bisnis,” ujar Alex
ketika makan malam keluarga besar gereja tempat mereka berbakti. Alona mengerti
kenapa hanya dia yang ditawarin oleh Alex, si Manajer Public Relation. Alona adalah orang yang sangat tertarik di bidang mediasi, terutama mediasi masalah
antar negara, juga bidang perminyakan dan pertambangan adalah salah satu konsentrasi Alona, dan Alex tahu itu. ‘Berasa menyaingi mantan’ begitulah yang selalu
dikatakan oleh Alona. Lagipula, Alex pasti membutuhkan orang untuk menemaninya.
Lebih nyaman ditemani oleh orang dekat daripada rekan kerja.
Jadilah
mereka berangkat ke kota kembang Bandung, dengan penerbangan pada hari Rabu
malam di bulan Juni dengan titik pemberangkatan dari kantor Alex.
*
*Alona POV
Aku
memang memiliki porsi kepercayaan diri yang banyak, tapi kalau berjalan
ditengah gedung dengan orang-orang tak kukenal seperti ini, aku selalu
menundukkan kepala. Dasar kantung kemih sialan. Menahan air kecil untuk satu
jam lagi pun sudah tak sanggup.
Hingga
kakiku mencapai pintu, mataku masih menatap ujung sepatu, memastikan tidak ada
kaki lain dengan radius tiga puluh sentimeter. Dan setelah tak lagi memijak
karpet ruangan barulah aku mengangkat kepala. Hal yang paling kusesali hingga
sebulan berikutnya.
Di
hadapan mataku berdiri dia, dengan kemeja lengan panjang bercorak kotak-kotak,
gaya khasnya. Lengan kemejanya digulung hingga dibawah siku dan senyumnya yang
tak pernah kulupakan terukir diwajah, diberikannya pada seorang gadis berjilbab
jumbo. Sejenak, duniaku terasa berputar sekian detik sebelum pikiranku
mengambil alih tubuh. Aku melihat pada badanku, dress selutut dengan lengan di
bawah siku dipadu sepatu stiletto. Berbeda sekali dengan penampilan gadis
dengan bergamis lebar yang menjadi pusat perhatian Dama. Lagi, aku berjuang
meraih atensiku dan beranjak ke restroom wanita.
Namun,
hingga acara selesai, pikiranku melayang pada Dama, si gadis muslimah, dan
kenanganku bersama pemuda yang hingga kini masih menjadi pemilik hatiku.
Untungnya tadi aku keluar setelah Profesor selesai memberikan kuliahnya,
sehingga tidak ada hal berarti yang kusia-siakan.
“Kita
keluar dari mana, Na?” ucapan Alex berhasil membangunkanku dari lamunan.
“Terserah
deh, tapi kayaknya kita harus nunggu agak lama, kak,” kataku sambil mengalihkan
pandangan pada kerumunan orang di dekat pintu keluar. Aku bayangkan tubuh
kecilku ini terdesak oleh badan-badan besar peserta lain, lalu aku kehabisan
nafas, kemungkinan aku akan pingsan dan itu benar-benar memalukan.
“Yaudah
deh. Aku nyamperin Profesor dulu ya. Seenggaknya aku mau nampangin muka ganteng
ini di depan dia,” ujar pemuda bertubuh tegap itu dengan gaya lucunya yang
membuatku tertawa.
“Makhluk
kepedean,” kataku sambil mencubit pipinya yang dihiasi lesung di kiri dan di
kanan. Ah, tak salah memang kalau Alex disukai banyak wanita, tak hanya dari
yang muda tetapi bahkan beberapa ibu-ibu. Saat tanganku masih berada di pipi
dengan brewok tipis Alex, di balik punggung pemuda bertubuh tinggi ini kulihat
seseorang menatap kearahku, intens. Seseorang dari masa laluku, yang berhasil
menyentuh sebagian dari luka terdalam yang kusimpan rapat-rapat.
To be continued.
To be continued.
Komentar
Posting Komentar