(cc: youtube)
Media
sosial adalah media untuk berbagi dan menjalin hubungan antar masyarakat yang
bergabung dengan media yang sama. Bukan hanya berbagi mengenai kekayaan dan achievement
masing-masing orang, namun bisa juga berbagi masalah sosial yang melingkupi
masyarakat di dunia nyata mereka masing-masing.
Akhir-akhir
ini saya suka sekali ‘mantengin’ twitter yang terasa lebih memiliki fungsi
sosial yang baik bagi saya dari pada media sosial sebelah. Di twitter, orang
banyak bebas berpendapat walau tentu tidak semua berisikan kebaikan. Namun,
dari membaca pendapat-pendapat tersebut,
kita bisa memahami sesuatu hal dari sudut pandang yang berbeda, bahkan bisa
menambah ilmu mengenai hal-hal yang belum kita ketahui sebelumnya.
Salah
satu topik yang sedang ramai dibicarakan hari ini selain mengenai ‘bibit unggul’
adalah mengenai pernikahan antara suku Jawa dengan suku Sunda yang ‘terlarang’.
Banyak curahan hati para tweeps bersuku Sunda yang mengisahkan peraturan
keluarga mereka yang melarang para keturunan Sunda menikah dengan suku Jawa,
demikian juga dengan keluarga suku Jawa yang tidak mengijinkan anak mereka
membangun rumah tangga dengan seseorang dari suku Sunda. Dalam tweeps yang
bertebaran di twitter, beberapa orang menjelaskan asal-mula peraturan itu mulai
dari segi sejarah, sosial budaya, dan sudut pandang lain.
Yah,
sebenarnya isu-isu semacam itu tidak hanya menerpa suku Sunda dan suku Jawa,
namun juga banyak suku-suku lain di Indonesia yang menerapkan sikap seperti
itu, meskipun banyak orang telah ‘melanggar’ peraturan tidak tertulis itu. Contohnya
yang terjadi di Sumatera Utara adalah peraturan yang terjadi di antara suku
Nias dengan suku Batak.
Jujur
saja, sebagai orang yang dibesarkan di kota dengan toleransi tertinggi di
Indonesia, aku tidak tahu-menahu mengenai batasan antara orang yang memeluk agama
satu dengan orang yang beragama berbeda, atau batasan antara orang-orang dengan
suku yang berbeda pula. Di Pematangsiantar, anak-anak dibesarkan tanpa
pemahaman bahwa mereka tidak boleh bersosialisasi dengan orang yang agama atau sukunya
berbeda. Hal yang berbanding terbalik dengan yang terjadi bahkan di kota besar
seperti Medan.
Saat
pertama kali aku memasuki bangku perkuliahan di salah satu universitas swasta
yang mayoritas mahasiswanya berasal dari suku yang sama, aku baru mengerti
mengapa Pematangsiantar menjadi kota paling toleransi. Orang-orang Batak mencibir
suku Nias dan demikian sebaliknya. Bahkan teman-teman sesukuku melarang aku bergaul
terlalu akrab dengan suku Nias, hal yang aku tentang dengan bergaul dengan
komunitas mahasiswa Nias di kampus. Apa yang menjadi pembedanya?
“Kau
mau nikah dengan suku Nias, ha?!” seorang senior pernah membentakku yang
menentang stereotip itu.
“Aku bukan ingin menikah dengan seorang
Nias! Aku ingin menikah dengan seorang yang kucintai!” aku balas berteriak.
Masalah
antar suku ini sebenarnya bagaikan magma yang menggelegak di perut gunung.
Entah kapan magma akan meletus menjadi lahar. Pernah aku bertanya kepada salah
seorang ibu Batak, mengapa ada peraturan yang seperti itu dalam suku kami.
“Dan jolma I (mereka tidak manusia),”
hanya itu jawaban si ibu.
Lagi,
aku bertanya kepada temanku yang berasal dari suku Nias, apakah mereka juga
memiliki peraturan yang sama seperti itu, dia dengan semangat menceritakan
betapa kerasnya peraturan itu bagi lingkungan mereka.
“Orang Batak itu seram. Monster.
Egois, kasar. Itu kata orangtua.” Demikianlah penjelasannya.
"Menikahi perempuan Nias itu rugi. Mahal sinamotnya," begitulah komentar orang Batak. "Udah gitu kalau kau menikah dengan laki-laki Nias, kau bukan cuma punya dia, tapi punya Bapaknya juga." Yang ini isu lebih seram lagi.
"Kalau aku kawin dengan laki-laki Batak, perempuan Nias bakal makan hati terus. Dikasarin terus. Siapa yang mau digituin?" demikian jawaban perempuan Nias kepadaku.
"Perempuan Batak nggak bagus jadi menantu Nias. Kata Mamaku gitu," begitulah pengakuan salah seorang pemuda Nias.
"Menikahi perempuan Nias itu rugi. Mahal sinamotnya," begitulah komentar orang Batak. "Udah gitu kalau kau menikah dengan laki-laki Nias, kau bukan cuma punya dia, tapi punya Bapaknya juga." Yang ini isu lebih seram lagi.
"Kalau aku kawin dengan laki-laki Batak, perempuan Nias bakal makan hati terus. Dikasarin terus. Siapa yang mau digituin?" demikian jawaban perempuan Nias kepadaku.
"Perempuan Batak nggak bagus jadi menantu Nias. Kata Mamaku gitu," begitulah pengakuan salah seorang pemuda Nias.
Dan
bukan hanya sekedar teori, selama tiga tahun aku bergaul erat dengan kedua suku
ini, terjadi banyak kisah cinta menyedihkan antar suku Batak-Nias.
Contohnya
saja Dea, seorang gadis Batak yang keluarganya masih sangat menjunjung tinggi
adat istiadat, bahkan keluarganya adalah bangsawan Batak. Dea bertemu dengan
Dalman Giawa –seorang pemuda Nias yang pintar, sebagai sesama mahasiswa di
universitas ini. Seiring berjalannya waktu, tumbuh perasaan cinta di antara Dea
dan Dalman, dan akulah penghubung di tengah-tengah mereka. Kupikir mereka akan
menjalin hubungan setelah menyatakan perasaan masing-masing. Tapi ternyata,
tidak.
Malam
itu, Dea menangis di hadapanku, bercerita mengenai ancaman orangtuanya
kepadanya jika masih juga mempertahankan perasaannya kepada Dalman. Hubungan
mereka bahkan belum dimulai, dan mereka harus patah hati. Dan kini, aku
ditinggal dalam kebingungan.
Bagaimana
caraku menjelaskan kepada Dalman bahwa Dea terpaksa menolak cintanya hanya
karena Dalman adalah seorang suku Nias? Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa
orangtua Dea mengancam untuk menjemput Dea dari Medan bila gadis itu
berhubungan dengan Dalman?
Hingga
hari ini aku tidak menjelaskan apa pun, pada Dalman. Maaf, teman. Hingga
sekarang tenggorokanku terasa tercekat untuk menjelaskan hal ini kepadamu. Aku
tidak mampu.
Aku menulis ini bukan untuk mengungkit isu sosial menjadi permasalahan dan sumber permusuhan suku. Tapi hanya ingin bercerita sedikit contoh dari pertikaian etnosentrisme di salah satu provinsi besar di Indonesia.
Phoebe J
Medan, 9/17/2018
Aku menulis ini bukan untuk mengungkit isu sosial menjadi permasalahan dan sumber permusuhan suku. Tapi hanya ingin bercerita sedikit contoh dari pertikaian etnosentrisme di salah satu provinsi besar di Indonesia.
Phoebe J
Medan, 9/17/2018
Komentar
Posting Komentar